Donum Vitae merupakan instruksi dari konggregasi
ajaran iman tentang hormat kepada hidup manusia tahap dini, yang diundangkan
pada tahun 1987. Instruksi ini diawali dengan pengantar yang mengingatkan
kembali akan prinsip-prinsip antropologis dan moral yang mendasar. Pada isi
dibagi menjadi tiga bagian yakni, hormat terhadap manusia sejak awal
keberadaannya, soal-soal moral yang berkaitan dengan intervensi teknik dalam
prokreasi dan pada bagian terakhir tentang beberapa orientasi mengenai hubungan
antara moral dan hukum negara tentang hormat terhadap embrio dan fetus manusia
sehubungan dengan teknik prokreasi buatan.
Pengantar
Allah menciptakan manusia seturut
gambar-Nya, menganugerahkan kehidupan dan memberikan tugas kepada manusia untuk
menahklukkan bumi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi
selama ini merupakan ungkapan pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya. Kemajuan
ilmu dan teknologi di bidang medis memberi sumbangan dalam perkembangan manusia
dengan penggunaan sarana-sarana terapeutis yang makin efektif. Namun kemajuan
ilmu dan teknologi tersebut bila dilaksanakan dengan salah akan mengakibatkan
munculnya kekuasaan baru pada manusia pada permulaan dan tahap-tahap
pertamanya. Kemajuan ilmu dan teknoligi menuntut tanggungjawab untuk memelihara
dan mempertahankan nilai luhur dari hidup yang telah dianugerahkan Allah kepada
manusia, sehingga kemajuan ilmu dan teknologi tersebut tidak boleh bertentangan
dengan keluhuran hidup manusia. Prinsip dasar ini harus ditempatkan dalam
pertimbangan masalah moral terhadap intervensi buatan pada tahap awal hidup dan
proses prokreasi.
Hormat
terhadap Embrio Manusia
Hidup manusia harus dihormati dan
dilindungi sejak pembuahan, sebab sejak pembuahan mulailah hidup baru, yang
bukan hidup ayah maupun ibu. Prinsip dasar ini harus dipegang, juga dalam
pelaksanaan diagnosis prakelahiran. Diagnosis prakelahiran tersebut tidak
dibenarkan dan bertentangan dengan hukum moral apabila dengan maksud
melaksanakan aborsi bila hasilnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki, entah
karena cacat, penyakit atau pun yang lainnya. Orang tua atau siapa pun yang
menganjurkan atau memerintahkan diagnosis itu dengan maksud melaksanakan aborsi
adalah bertentangan dengan moral. Demikian juga dengan spesialis yang ikut
serta memberi bantuan yang tidak dibenarkan dan memberitahukan hasilnya dengan
sengaja yang mengakibatkan adanya hubungan antara diagnosis dan aborsi adalah
bersalah.
Diagnosis prakelahiran dapat
dibenarkan apabila metode yang digunakan, dengan persetujuan orang tua setelah
diberi keterangan yang memadai, memelihara hidup dan integritas embrio dan
ibunya, tanpa memberi resiko yang tidak seimbang, serta diarahkan untuk
perlindungan atau penyembuhan individualnya. Demikian halnya dengan intervensi
medis pada embrio lainnya, intervensi medis pada embrio diperkenankan dengan
syarat agar embrio bisa mempertahankan hidup dan keutuhannya, untuk
menyembuhkan dan memulihkan kesehatannya atau untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya dengan tidak membawa resiko yang tak seimbang.
Dalam intervensi pada embrio untuk
tujuan penelitian, tidak diperbolehkan penelitian medis dengan mengadakan
intervensi pada embrio hidup, kecuali ada kepastian bahwa hidup maupun keutuhan
anak yang belum lahir dan ibunya diancam kerugian, dan dengan syarat bahwa
orangtua menyetujui intervensi itu setelah mendapat informasi yang memadai.
Sedangkan untuk kegiatan eksperimen, tidak dibenarkan melakukan eksperimen
tidak langsung terapeutis pada embrio yang masih hidup, entah bisa mandiri atau
tidak, embrio tersebut harus dihormati seperti semua pribadi manusia. Tidak ada
tujuan yang luhur, dapat dengan cara apa pun membenarkan eksperimen pada embrio
atau fetus yang hidup. Memanfaatkan embrio untuk obyek dan alat eksperimen merupakan
kejahatan melawan martabat manusia.
Embrio yang dihasilkan in vitro untuk penelitian harus tetap dipandang
sebagai mahluk insani. Pada dasarnya, tindakan untuk menghasilkan embrio in vitro dan memperalatnya adalah
bertentangan dengan moral. Prosedur pembuahan tersebut bertentangan dengan
martabat khas manusia dan melanggar hak setiap manusia untuk dikandung dan
dilahirkan dalam perkawinan. Akan tetapi pada masa kini telah terjadi pembuahan
in vitro yang menghasilkan embrio
untuk penelitian. Penelitian yang demikian menempatkan diri menggantikan Allah,
dan menjadikan diri penentu nasib orang lain, siapa yang dipilih hidup dan
siapa yang ditentukan untuk mati. Tidak dibenarkan secara moral membiarkan
embrio hasil in vitro mati, sebab
setiap manusia harus dihormati demi dirinya sendiri dan tidak boleh direndahkan
menjadi alat untuk menguntungkan pihak lain.
Intervensi
dalam Prokreasi Insani
Pada bagian ini akan membahas fertilisasi artifisial
heterolog dan fertilisasi artifisial homolog.
Fertilisasi Artifisial Heterolog
Gereja menyerukan bahwa prokreasi
harus terjadi dalam perkawinan, karena prokreasi seorang pribadi baru yang
melibatkan laki-laki dan perempuan sebagai rekan Pencipta haruslah merupakan
buah dan tanda penganugerahan personal timbal balik suami istri, kasih dan
kesetiaannya. Anak memiliki hak untuk dikandung, dilahirkan dan dididik dalam
perkawinan. Dengan demikian fertilisasi
artifisial heterolog bertentangan dengan kesatuan perkawinan, martabat
suami-istri, panggilan khas orang tua dan ha kanak dikandung dan dilahirkan
dalam perkawinan.
Selanjutnya, berkenaan dengan
keibuan surogat juga tidak diperkenankan. Sebab, bertentangan dengan kesatuan
perkawinan dan martabat prokreasi pribadi manusia. Keibuan surogat merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban kasih ibu, kesetiaan perkawinan, tanggungjawab
keibuan, dan juga merendahkan martabat dan hak kanak untuk dikandung,
dilahirkan dan dididik oleh orang tuanya sendiri.
Fertilisasi Artifisial Homolog
Asal-usul pribadi manusia
sesungguhnya merupakan buah penganugerahan diri. Anak yang dikandungnya
haruslah buah kasih dari orang tuanya, ia tidak boleh dikandung sebagai hasil
karya medis dan biologis. Tidak seorang pun boleh menundukkan kelahiran seorang
anak kepada efisiensi teknis ilmu dan teknologi. Karena itu, dibenarkan
mengingini pembuahan hasil dari sanggama yang menurut hakikatnya cakap untuk
membuahkan hidup baru yang menjadi tujuan perkawinan dan dengannya suami-istri
menjadi satu daging. Prinsip yang harus terus dipegang dalam perkawinan adalah
prokreasi dan sanggama, dan tidak pernah diperkenankan memisahkan dua aspek ini.
Sanggama harus menjadi satu-satunya wadah yang layak untuk prokreasi. Oleh
karena itu, Gereja melawan pembuahan in
vitro homolog. Pembuahan ini secara intrinsik dilarang karena bertentangan
dengan martabat prokreasi dan sanggama, juga bila dilakukan untuk menghindari
kematian embrio.
Sedangkan untuk inseminasi
artifisial homolog, adalah dilarang jika prosedur itu menggatikan sanggama
suami-istri, karena akan menghilangkan sifat unitif dari perkawinan. Namun,
apabila dalam kasus-kasus dimana sarana teknis bukan sebagai pengganti
sanggama, melainkan berfungsi untuk mempermudah dan membantunya sehingga
tindakan itu mencapai tujuannya adalah diperkenankan. Kriteria moral dalam
intervensi medis dalam prokreasi diambil dari martabat manusia, seksualitasnya
dan asal-usulnya.
Pada kasus kemandulan suami-istri,
perkawinan tidak memberikan kepada mereka hak untuk mempunyai anak. Hak dalam
arti yang sesungguhnya bertentangan dengan martabat dan hakikat anak. Anak sama
sekali bukan obyek hak, dan tidak dapat dipandang sebagai obyek kepemilikan.
Anak merupakan anugerah, dan sama sekali anugerah bebas dari perkawinan. Anak
merukapan anugerah dari kesaksian hidup timbal balik orangtuanya, dan ia juga
mempunyai hak untuk dihormati sebagai pribadi sejak saat pembuahan. Suami-istri
yang berada dalam keadaan pedih ini diajak untuk berpartisipasi dalam salib
Tuhan. Kemandulan harus dilihat sebagai kesempatan untuk melibatkan diri dalam
pelayanan kehidupan seperti adopsi, aneka bentuk karya pendidikan, membantu
keluarga lain dan membantu anak-anak miskin dan cacat.
Moral
dan Hukum Sipil
Tugas hukum sipil ialah menjamin
kepentingan umum rakyat melalui pengakuan dan pembelaan hak-hak asasi,
mendukung usaha perdamiaan dan moralitas publik. Hak-hak asasi tersebut ialah
hak atas hidup dan keutuhan tubuh setiap manusia sejak pembuahan sampai
kematian dan hak-hak keluarga dan perkawinan yang meliputi hak anak untuk
dikandung, dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya. Apabila hukum sipil
tidak dapat mengerahkan kekuasaannya untuk melindungi hak setiap warga,
terutama bagi mereka yang tidak dapat membela diri sendiri, maka hukum itu akan
mudah digerogoti.
Semua orang yang berkehendak baik
harus melibatkan diri, terutama di bidang profesinya dan dalam menjalankan
hak-haknya sebagai warga negara agar undang-undang yang tidak dapat diterima
dari sudut moral segera diubah. Agar semua manusia, bahkan yang paling lemah
dan tak dapat membela dirinya sendiri memperoleh jaminan untuk dapat menikmati
haknya sebagai manusia.
Komentar
Dunia masa kini, terancam dengan proses dehumanisasi
dengan berbagai cara. Salah satu bidang yang terkena ancaman proses
dehumanisasi ini terjadi dalam bidang medis yang menjadikan manusia sebagai
obyek dan alat eksperimen dan penelitian dengan alasan mengembangkan ilmu dan
teknik. Instruksi dari konggregasi ajaran iman, Donum Vitae merupakan pedoman
praktis bagi persoalan-persoalan medis yang terjadi di masa kini. Instruksi ini
mengingatkan kembali kepada semua orang, agar melihat kembali asal dan tujuan kehidupan,
sehingga mampu menghormati dan menjaga martabat luhur dari hidup manusia.
Kehidupan yang diterima setiap manusia merupakan anugerah dari Allah Sang
Pencipta, dimana tak seorang pun dapat mengambil alih kuasa atas kehidupan itu.
Kehidupan dan kematian merupakan hak Allah yang tidak dapat diganggu-gugat.
Sejak awal mula keberadaannya,
manusia berada dalam rencana kasih Allah (bdk. Mzm 22 :10-11). Rencana
kasih Allah dalam kehidupan manusia diwahyukan dalam panggilan kepada manusia
untuk bersatu antara pria dan wanita dalam perkawinan. Dengan mana dalam
perkawinan pria dan wanita menjadi rekan kerja Allah untuk menciptakan
kehidupan baru lewat pemberian diri dalam kasih yang timbal balik antara
suami-istri dan keterbukaannya pada prokreasi. Dan, inilah jalan satu-satunya
yang dapat dibenarkan akan kehadiran kehidupan baru, yang sesuai dengan
martabat luhur manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah.
Kehadiran Yesus Kristus ke dunia
adalah untuk memberi hidup kepada manusia, agar setiap manusia memiliki hidup
itu dengan berkelimpahan (bdk. Yoh 10:10). Hidup manusia merupakan sesuatu yang
suci dan luhur karena berhubungan langsung dengan penciptanya, Sang Pemberi
Hidup. Sang Pencipta sendiri menghendaki agar kehidupan itu dijaga dan
dihormati. Lewat perintah “jangan membunuh“, tidak hanya diartikan dilarang
untuk mengambil kehidupan individu lain tetapi juga perintah untuk menghormati
dan menjaga hidup itu sendiri, sejak dari awal mula keberadaannya hingga
kematian. Kehendak Allah untuk menghormati dan menjaga kehidupan itu semakin
nyata dengan kedatangan diri Yesus Kristus, yang memberikan diri demi seluruh
umat manusia.
Allah telah menganugerahkan
kehidupan kepada manusia, mewahyukan rencana dan kehendak-Nya atas kehidupan,
dan memberikan hidup itu secara berlimpah melalui dan di dalam Putera-Nya. Oleh
karena itu, sudah menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk menjaga dan
menghormati hidup sesamanya, terlebih bagi mereka yang tak berdaya dan tidak
dapat membela dirinya sendiri yang biasanya berada pada tahap awal dan akhir
dari kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi terhadap manusia yang
bertentangan dengan martabat luhur manusia harus dihindarkan, terlebih bila hal
itu mengancam kehidupan dan keutuhannya. Betapa pun luhur dan baiknya suatu
tujuan, tidak membuatnya dibenarkan untuk melakukan segala cara dalam
pencapaiannya, terlebih bila hal itu membahayakan dan mengancam kehidupan
manusia lain, meski kehidupan itu masih berada dalam tahap awal. Kehidupan
manusia harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat sejak pembuahan hingga
kematian.